Publikasi
BUDAYA BERPIKIR KRITIS UNTUK MEMERANGI HOAX

Ditulis tanggal 18 Sep 2019 07:39:11



“The purpose of critical thinking is rethinking: that is, reviewing, evaluating, and revising thought.” (Tujuan berpikir kritis adalah memikirkan kembali: yaitu, mengkaji, mengevaluasi, dan merevisi pemikiran) — Jon Stratton
 
Belakangan ini, HOAX (berita bohong) ramai diperbincangkan di media massa, media sosial, dan media elektronik, karena dianggap meresahkan publik, dengan informasi yang tidak bisa dipastikan kebenarannya.  HOAX, tidak hanya dalam bentuk tulisan, tetapi juga lewat lisan, seperti bersaksi dusta untuk menjatuhkan sesama, apalagi kalau dia adalah “lawan politik”. Padahal di dalam kitab suci perjanjian lama, khususnya kitab keluaran yang berisi 10 perintah Allah, perintah yang ke delapan tertulis “jangan bersaksi dusta tentang sesamamu”. Katekismus menjelakan bahwa mengucapkan saksi dusta atau mengatakan kebohongan dengan maksud menipu, mencakup seluruh pelanggaran akan kebenaran. Dan didalam kitab suci perjanjian baru, khusus dalam Injil Matius 5: 37, Tuhan Yesus atau nabi Isa berfirman “jika ya , hendaklah kamu katakan ya, jika tidak, hendaklah kamu katakan tidak. Apa yang lebih dari pada itu berasal dari si jahat”. Maka dalam konteks perintah ke delapan dari 10 perintah Allah, yang termasuk HOAX adalah: saksi dusta dan sumpah palsu dihadapan publik, penilaian yang gegabah tanpa bukti, umpatan tanpa alasan yang valid, fitnah, atau pencemaran nama baik, sanjungan yang berlebihaan untuk mengecoh orang lain demi kepentingan pribadi, bual, mulut besar, atau cemooh.
 
PENGERTIAN HOAX
 Menurut Lynda Walsh dalam buku berjudul Sins Against Science, istilah HOAX atau kabar bohong, merupakan istilah dalam bahasa Inggris yang masuk sejak era industry, dan diperkirakan pertama kali muncul pada 1808. Kitab perjanjian baru,
Seperti dilansir Antara, Jumat 6 Januari 2016, asal kata “HOAX” diyakini ada sejak ratusan tahun sebelumnya, yakni “HOCUS' dari mantra “HOCUS POCUS” Frasa yang kerap disebut oleh pesulap, serupa ”sim salabim”.
Alexander Boese dalam bukunya, Museum of Hoaxes, mencatat HOAX, pertama yang dipublikasikan adalah almanak atau penanggalan palsu yang dibuat Isaac Bickerstaff alias Jonathan Swift pada 1709.
Saat itu, ia meramalkan kematian astrolog John Partridge. Agar meyakinkan publik, ia bahkan membuat obituari palsu tentang Partridge pada hari yang diramal sebagai hari kematiannya.
Swift mengarang informasi tersebut untuk mempermalukan Partridge di mata publik. Partridge pun berhenti membuat almanak astrologi hingga enam tahun setelah HOAX beredar.
Penyair aliran romantik Amerika Serikat, Edgar Allan Poe, pun diduga pernah membuat enam HOAX sepanjang hidupnya, seperti informasi dari hoaxes.org yang dikelola Boese.
Poe, sekitar 1829 -1831, menulis di koran lokal, Baltimore, akan ada orang yang meloncat dari Phoenix Shot Tower pada pagi hari 1 April. Orang itu ingin mencoba mesin terbang buatannya, dan akan melayang ke Lazaretto Point Lighthouse yang berjarak 2,5 mil.
Saat itu, Phoenix Shot Tower yang baru dibangun, merupakan bangunan tertinggi di AS. Berita orang terbang di gedung tertinggi itu menarik banyak peminat, hingga orang-orang berkumpul di bawah gedung untuk menyaksikannya.
Tetapi, yang ditunggu-tunggu tak kunjung hadir. Kerumunan orang kesal dan bubar begitu menyadari hari itu 1 April. Poe lalu meminta maaf di koran sore, menyatakan orang itu tak bisa hadir karena salah satu sayapnya basah.
Salah satu hoax yang sering beredar adalah ancaman asteroid menghantam bumi hingga menyebabkan kiamat. NASA, pada 2015, membantah rumor asteroid jatuh dan mengakibatkan kerusakan besar di bumi.
Menurut mereka, asteroid yang berpotensi berbahaya memiliki 0,01 persen berdampak pada bumi selama 100 tahun ke depan.
"Kalau ada objek besar yang akan merusak pada September, tentu kami sudah bertindak sekarang," kata Manajer Objek Dekat Bumi NASA Paul Chodas, pada Agustus 2015.
Di Indonesia, saat ini kepolisian sedang melacak penyebar berita bohong mengenai jutaan pekerja asal Tiongkok di Indonesia. Presiden Joko Widodo atau Jokowi sebelumnya membantah kabar jumlah pekerja Tiongkok di Indonesia, yang mencapai puluhan juta orang. Jokowi menyatakan, ada 21 ribu pekerja asal Tiongkok di Indonesia.
 
Mengapa Hoax Menyebar?
Direktur Institute of Cultural Capital di University of Liverpool Simeon Yates, dalam tulisannya yang dimuat di world.edu, Fake News-Why People Believe It and What Can Be Done to Counter It, menyebutkan ada fenomena bubbles atau gelembung dalam penggunaan media sosial atau medsos.
Pengguna medsos cenderung berinteraksi dengan orang yang memiliki ketertarikan yang sama dengan diri sendiri. Dikaji dari studi kelas sosial, gelembung medsos tersebut mencerminkan gelembung 'offline' sehari-hari.
Di eja lebih jauh, bahwa kabar bohong yang beredar di medsos, menjadi besar ketika diambil oleh situs atau pihak terkemuka yang memiliki banyak pengikut.
Kecepatan dan sifat medsos yang mudah dibagikan (shareability), berperan dalam penyebaran berita. Pesan nyata dari masalah HOAX  adalah, tanyakan pada diri sendiri, seberapa sering kita memeriksa fakta cerita, sebelum menyebarkannya.
 
BUDAYA BERPIKIR KRITIS
Etimologi
Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata Latin Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Sedangkan berpikir Kritis adalah berpikir pada sebuah level yang kompleks dengan menggunakan berbagai proses analisis analisis dan proses evaluasi terhadap informasi yang didapatkan. Menurut Beyer: 1985, pengertian berpikir kritis adalah kemampuan kemampuan untuk: menilai valid atau tidaknya suatu sumber informasi; membedakan mana yang relevan dan tidak; membedakan mana yang fakta dan mana yang tidak.
Maka, dalam konteks tulisan ini, budaya berpikir kritis adalah daya dari budi atau akal untuk menilai valid atau tidaknya suatu sumber informasi/berita; membedakan mana yang relevan dan tidak; membedakan mana yang fakta dan mana yang tidak. Atau daya dari akal budi untuk menganalisis fakta yang ada, kemudian membuat beberapa gagasan dan mempertahankan gagasan tersebut  kemudian membuat perbandingan, menurut (Chance: 1986)
Budaya kristis selalu mempertanyakan kebenaran dan sumbernya. Budaya berpikir kritis, dibentuk dari akal dan hati sebagai pusat pertimbangan (discernment). Oleh karena itu, maka, untuk bisa berpikir kritis, maka perlunya olah pikir (literasi), olah hati (etika), olah rasa (estetika), olah raga (kinesteik) dalam arti men sana in corporesano,”didalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang kuat”.
Karena itu, untuk memerangi HOAX, maka empat pilar ini, yang disingkat 4S (Sanctitas, Scientia, Sanitas dan Societas), bisa jadi solusi, pegangan sbb:
  1. Sanctitas (kesucian): bahwa untuk dapat hidup suci, maka manusia harus selalu menjalin relasi yang intim dan intens dengan Tuhan, sehingga tidak mengalami disorientasi dalam hidup. Karena itu, hidup kita manusia tidak terlepas dari hubungan dengan Sang Sumber Hidup---Sanctitas, Trinitas. Jadi, jika hidup kita di urapi, didayai dan dikuasai oleh Roh Tuhan, yakni Roh kebijaksanaan dan Roh Pengetahuan, maka hati dan pikiran kita akan bisa membedakan informasi yang benar atau tidak.
  2. Scientia (Pengetahuan): bahwa agar hidup kita berpengetahuan, maka perlunya hidup belajar. Pengetahuan menjadi dasar berpikir kritis sistematis-logis, serta kritis-imajinatif untuk berperan di arena kontestasi globalisasi zaman, yang terkadang disusupi HOAX.
  3. Sanitas (kesehatan): bahwa kesehatan itu mahal. Hal ini secara implisit mau merealisasikan adagium men sana in corporesano. ”didalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang kuat”. Oleh karena itu, jika tubuh kita sehat, jiwa kita kuat, maka diharapkan juga pikiran kita segar, jernih, waras, sehingga tidak mudah percaya dengan HOAX.
  4. Societas (komunitas): bahwa hidup bersama atau komunitas itu penting, ditengah zaman yang hidup cenderung individualistis, seperti sekarang ini. Hidup bersama mengandung proses interaksi antar personal yang positif. Disana terdapat usaha bersama untuk menciptakan pengaruh positif, suasana yang harmonis, sehingga terbebas dari HOAX.
Jadi demikianlah, budaya kritis muncul dari kesadaran kritis yang tumbuh dalam alam budaya berpikir. Budaya kritis lahir dari sikap yang selalu mempertanyakan kebenaran dan sumber kebenaran yang sesungguhnya. Karena itu, empar diatas barangkali bisa menjadi solusi, untuk memerangi HOAX.
 
Penutup
“Critical thinking relies on content, because you can’t navigate masses of information if you have nothing to navigate to.” (Pemikiran kritis tergantung pada konten, karena kamu tidak bisa menavigasi banyak informasi jika kamu tidak memiliki navigasi.) — Kathy Hirsh-Pasek
Akhirnya, bahwa untuk memerangi HOAX, maka sangat diperlukan budaya berpikir kritis. Budaya berpikir kritis dibentuk melalui olah pikir (literasi), hidup belajar, olah hati (etika), discernment, olah rasa (estetika), mau bekerja sama untuk hal yang positif, olah raga (kinestetik), sportif, berdaya guna.
Dan keempat olah diatas akan disempurnakan dalam diri kita, melalui empat pilar yang disebut  4S (Sanctitas, Scientia, Sanitas dan Societas).
Selamat berproses, semoga budaya berpikir kritis semakin terinternalisasi dalam diri kita, sehingga dapat memerangi HOAX. INGAT, JANGAN MUDAH DAN MAU DIBODHI oleh penyebar HOAX, gunakan HATI dan PIKIRAN yang sehat, jernih.